ahlan wasahlan

assalamu'alaikum wr.wb

Kamis, 22 November 2012

habibie dan ainun



assalamualaikum wr,wb..

semoga berkah dan rahmat allah senantiasa tercurah kepada kita semua, dan tentunya salawat dan salam untuk nabi besar kita Muhammad saw..

sebelum nya, saya bingung mau ngisi postingan apa di blog saya ini,, ini blog awalnya saya buat karena tugas kuliah saya :)*sebenarnya siih udah punya blog lain, tapi ya sepertinya sudah bersarang laba-laba, gak pernah di periksa, dilihat, apalagi di perbaharui :D mumpung ada tugas ini, ya lanjutkan saja :)

lama saya berpikir postingan apa yang mau saya publikasikan, dan pada akhir nya, saya melihat sebuah novel yang tergeletak di atas lemari saya, sebuah novel yang penuh inspiratif dan mengharukan menurut saya, novel karangan bapak B.J.Habibie yang berjudul "Habibie dan Ainun" membuat saya menemukan sesuatu dipikiran saya,, atau tepat nya ide untuk membuat postingan mengenai novel ini. sejenis sinopsis sepertinya :)

jujur saja sebenar nya saya belum selesai baca novel ini secara mendetail dan tersusun, saya membacanya lompat-lompat, menurut yang saya inginkan :)

pada awalnya, saya kira novel ini menceritakan kisah percintaan antara bapak habibie dan ibu ainun saja, ternyata tidak. novel ini menceritakan kisah cinta sejati bapak habibie dan ibu ainun serta pengabdian nya terhadap bangsa dan negara. sebenar nya sih menurut saya, buku ini lebih pantas dikatakan sebagai biografi bukan novel, tapi apa pun nama nya tetap jempol dah buat bapak habibie dan ibu ainun :)

di bawah ini saya tuliskan sedikit penggalan dari cerita novel bapak B.J.Habibie,,
yuk baca :)

 

 

Mana Mungkin Aku Setia…


Sebenarnya ini bukan tentang kematianmu, bukan itu.

Karena, aku tahu bahwa semua yang ada pasti menjadi tiada pada akhirnya,

dan kematian adalah sesuatu yang pasti,

dan kali ini adalah giliranmu untuk pergi, aku sangat tahu itu.

Tapi yang membuatku tersentak sedemikian hebat, adalah kenyataan

bahwa kematian benar-benar dapat memutuskan kebahagiaan dalam diri seseorang,

sekejap saja, lalu rasanya mampu membuatku menjadi nelangsa setengah mati,

hatiku seperti tak di tempatnya, dan tubuhku serasa kosong melompong, hilang isi.

Kau tahu sayang, rasanya seperti angin yang tiba-tiba hilang berganti kemarau gersang.

Pada airmata yang jatuh kali ini, aku selipkan salam perpisahan panjang,

pada kesetiaan yang telah kau ukir, pada kenangan pahit manis selama kau ada.

“Aku bukan hendak mengeluh, tapi rasanya terlalu sebentar kau disini.”

Mereka mengira aku lah kekasih yang baik bagimu sayang,

tanpa mereka sadari, bahwa kaulah yang menjadikan aku kekasih yang baik.

Mana mungkin aku setia padahal memang kecenderunganku adalah mendua,

tapi kau ajarkan aku kesetiaan, sehingga aku setia, kau ajarkan aku arti cinta,

sehingga aku mampu mencintaimu seperti ini.

Selamat jalan, Kau dari-Nya, dan kembali pada-Nya,

kau dulu tiada untukku, dan sekarang kembali tiada.

Selamat jalan sayang, cahaya mataku, penyejuk jiwaku,

Selamat jalan, calon bidadari surgaku ….

(Bacharuddin Jusuf Habibie, Habibie dan Ainun)


Penggalan puisi di atas adalah ungkapan kehilangan yang sangat dalam dari Pak Habibie saat beliau harus merelakan sang istri, Ibu Ainun Habibie pergi menghadap Allah terlebih dahulu. Kehilangan inilah yang membuat Pak Habibie harus melewati perawatan psikologi salah satunya dengan terapi menulis yang kemudian menghasilkan sebuah buku biografi yang luar biasa berjudul Habibie dan Ainun. Sepanjang membaca buku Habibie dan Ainun ini terasa sekali kedalaman cinta dari Pak Habibie kepada istrinya. Banyak ungkapan yang selalu didengungkan beliau tentang betapa bahagia dan beruntungnya mendapatkan istri yang selalu diliputi kesabaran dan tanggung jawab.

Kisah cinta Ainun dan Habibie berawal dari pertemuan di Rangga Malela 11B, rumah kediaman keluarga Besari–keluarga besar Ainun–tinggal. Habibie, seorang insinyur yang baru pulang dari Jerman bertemu kembali dengan Ainun, kawan SMA-nya, seorang dokter lulusan FK UI setelah 7 tahun tak pernah jumpa. Perjumpaan secara tidak sengaja itu membawa Habibie muda terlarut dalam kerinduan pandangan mata indah Ainun yang akan selalu dikenangnya. Pandangan mata pada 7 Maret 1962 yang akan menjadi saksi cinta abadi sepasang insan manusia.

Kedua insan yang dipertemukan oleh cinta dari Allah itupun kemudian menikah. Alur kisah pun bergulir tentang cinta dan pengabdian seorang Ainun kepada suaminya. Cinta dan pengabdian Ainun adalah manifestasi ke-MANUNGGGAL-an jiwa, hati, dan batin Ainun dan Habibie. Dengan cinta dan pengabdian itulah yang membuatnya tetap setia mendampingi Habibie. Kesetiaan yang tetap dijaga Ainun walaupun saat menjadi seorang istri seorang asisten peneliti, pejabat teras perusahaan Jerman MBB, bahkan ketika menjadi Ibu Negara sekalipun. Cinta Ainun kepada Habibie tetap sama tulus tak berubah sepanjang waktu. Cintanya dari hati dan jiwa yang manunggal, yang memberi ketenangan kepada Habibie untuk terus menjaga idealismenya membangun negeri pertiwi. Cintanya tetap hidup walau Ainun dan Habibie terpisah dua dunia yang berbeda.

 Kisah mulai mengharukan ketika Bu Ainun menderita penyakit jantung, yang mengharuskannya menjalani operasi klep jantung. Jika dahulu Bu Ainun yang harus senantiasa mendampingi Pak Habibie dengan intensitas pekerjaannya yang tinggi, maka sekarang Pak Habibie yang terus berupaya menemani sang istri menjalani berbagai proses penyembuhan yang membutuhkan waktu hampir 10 tahun. Terasa sekali bahwa fase kehidupan inilah dan setelahnya yang banyak memeras psikologi Pak Habibie. Namun beruntunglah Pak Habibie memiliki agama dan Tuhan yang selalu tertanam dalam jiwanya, sehingga tidak membuatnya kehilangan kendali diri saat sang istri pergi selamanya.

 

 Mungkin tidak banyak yang diceritakan di sini, bagaimana pasang-surut dalam kehidupan rumah tangga mereka. Memang, di awal diceritakan bagaimana waktu mereka baru menikah, tapi setelah itu, selebihnya lebih banyak bercerita tentang kiprah bapak BJ Habibie hingga akhirnya beliau menjadi Menristek, kemudian Wapres sampai akhirnya jadi Presiden. Terasa begitu ‘pribadi’ karena Pak Habibie juga bercerita apa yang beliau rasakan. Bahkan ketegasan beliau ketika berhadapan dengan Presiden Soeharto sekali pun.

Di beberapa bab terakhir, baru kembali diceritakan bagaimana ketika Ibu Ainun mulai sakit dan harus dirawat di Jerman karena kondisi cuaca khatulistiwa tidak cocok untuk kesehatan beliau. Dan, BJ Habibie terus mendampingi ibu Ainun hingga tempat peristirahatan terakhir - sebagaiman ibu Ainun mendampingi BJ Habibie dalam tugasnya.

Bagian-bagian akhir memang bagian yang paling menyentuh, di mana justru rasa cinta di antara mereka lebih terlihat dan begitu mendalam. Alur penuturan yang lamban (dan mungkin kalo dipikir-pikir, tidak ada hubungannya sama ‘kisah cinta’ mereka berdua), tapi, tetap saja, buku ini memberi inspirasi.


* nah teman,  Buku ini dapat menjadi refleksi atau pelajaran serta inspirasi bagi kita semua, terutama bagi yang ingin belajar bagaimana menjadi suami dan istri yang baik. Buku ini juga mengajarkan saya, bahwa kita boleh mencintai seseorang namun janganlah melebihi cintamu kepada Allah. Karena semua yang kita miliki sekarang hanya bersifat sementara, semuanya akan kembali kepada Allah dan seberapapun beratnya, kita harus ikhlas dan tabah untuk melaluinya. Baca deh buku nya teman, :)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar