assalamualaikum wr,wb..
semoga berkah dan rahmat allah senantiasa tercurah kepada kita semua, dan tentunya salawat dan salam untuk nabi besar kita Muhammad saw..
sebelum nya, saya bingung mau ngisi postingan apa di blog saya ini,, ini blog awalnya saya buat karena tugas kuliah saya :)*sebenarnya siih udah punya blog lain, tapi ya sepertinya sudah bersarang laba-laba, gak pernah di periksa, dilihat, apalagi di perbaharui :D mumpung ada tugas ini, ya lanjutkan saja :)
lama saya berpikir postingan apa yang mau saya publikasikan, dan pada akhir nya, saya melihat sebuah novel yang tergeletak di atas lemari saya, sebuah novel yang penuh inspiratif dan mengharukan menurut saya, novel karangan bapak B.J.Habibie yang berjudul "Habibie dan Ainun" membuat saya menemukan sesuatu dipikiran saya,, atau tepat nya ide untuk membuat postingan mengenai novel ini. sejenis sinopsis sepertinya :)
jujur saja sebenar nya saya belum selesai baca novel ini secara mendetail dan tersusun, saya membacanya lompat-lompat, menurut yang saya inginkan :)
pada awalnya, saya kira novel ini menceritakan kisah percintaan antara bapak habibie dan ibu ainun saja, ternyata tidak. novel ini menceritakan kisah cinta sejati bapak habibie dan ibu ainun serta pengabdian nya terhadap bangsa dan negara. sebenar nya sih menurut saya, buku ini lebih pantas dikatakan sebagai biografi bukan novel, tapi apa pun nama nya tetap jempol dah buat bapak habibie dan ibu ainun :)
di bawah ini saya tuliskan sedikit penggalan dari cerita novel bapak B.J.Habibie,,
yuk baca :)
Mana Mungkin Aku Setia…
Sebenarnya ini bukan tentang kematianmu, bukan itu.
Karena, aku tahu bahwa semua yang ada pasti menjadi tiada pada akhirnya,
dan kematian adalah sesuatu yang pasti,
dan kali ini adalah giliranmu untuk pergi, aku sangat tahu itu.
Tapi yang membuatku tersentak sedemikian hebat, adalah kenyataan
bahwa kematian benar-benar dapat memutuskan kebahagiaan dalam diri seseorang,
sekejap saja, lalu rasanya mampu membuatku menjadi nelangsa setengah mati,
hatiku seperti tak di tempatnya, dan tubuhku serasa kosong melompong, hilang isi.
Kau tahu sayang, rasanya seperti angin yang tiba-tiba hilang berganti kemarau gersang.
Pada airmata yang jatuh kali ini, aku selipkan salam perpisahan panjang,
pada kesetiaan yang telah kau ukir, pada kenangan pahit manis selama kau ada.
“Aku bukan hendak mengeluh, tapi rasanya terlalu sebentar kau disini.”
Mereka mengira aku lah kekasih yang baik bagimu sayang,
tanpa mereka sadari, bahwa kaulah yang menjadikan aku kekasih yang baik.
Mana mungkin aku setia padahal memang kecenderunganku adalah mendua,
tapi kau ajarkan aku kesetiaan, sehingga aku setia, kau ajarkan aku arti cinta,
sehingga aku mampu mencintaimu seperti ini.
Selamat jalan, Kau dari-Nya, dan kembali pada-Nya,
kau dulu tiada untukku, dan sekarang kembali tiada.
Selamat jalan sayang, cahaya mataku, penyejuk jiwaku,
Selamat jalan, calon bidadari surgaku ….
(Bacharuddin Jusuf Habibie, Habibie dan Ainun)
Penggalan
puisi di atas adalah ungkapan kehilangan yang sangat dalam dari Pak
Habibie saat beliau harus merelakan sang istri, Ibu Ainun Habibie pergi
menghadap Allah terlebih dahulu. Kehilangan inilah
yang membuat Pak Habibie harus melewati perawatan psikologi salah
satunya dengan terapi menulis yang kemudian menghasilkan sebuah buku biografi yang luar biasa berjudul Habibie
dan Ainun. Sepanjang membaca buku Habibie dan Ainun ini terasa sekali kedalaman cinta dari Pak Habibie kepada istrinya.
Banyak ungkapan yang selalu didengungkan beliau tentang betapa bahagia
dan beruntungnya mendapatkan istri yang selalu diliputi kesabaran dan
tanggung jawab.
Kisah cinta Ainun dan Habibie berawal
dari pertemuan di Rangga Malela 11B, rumah kediaman keluarga
Besari–keluarga besar Ainun–tinggal. Habibie, seorang insinyur yang baru
pulang dari Jerman bertemu kembali dengan Ainun, kawan SMA-nya, seorang
dokter lulusan FK UI setelah 7 tahun tak pernah jumpa. Perjumpaan
secara tidak sengaja itu membawa Habibie muda terlarut dalam kerinduan
pandangan mata indah Ainun yang akan selalu dikenangnya. Pandangan mata
pada 7 Maret 1962 yang akan menjadi saksi cinta abadi sepasang insan
manusia.
Kedua insan yang dipertemukan oleh cinta
dari Allah itupun kemudian menikah. Alur kisah pun bergulir tentang
cinta dan pengabdian seorang Ainun kepada suaminya. Cinta dan pengabdian
Ainun adalah manifestasi ke-MANUNGGGAL-an jiwa, hati, dan batin Ainun
dan Habibie. Dengan cinta dan pengabdian itulah yang membuatnya tetap
setia mendampingi Habibie. Kesetiaan yang tetap dijaga Ainun walaupun
saat menjadi seorang istri seorang asisten peneliti, pejabat teras
perusahaan Jerman MBB, bahkan ketika menjadi Ibu Negara sekalipun. Cinta
Ainun kepada Habibie tetap sama tulus tak berubah sepanjang waktu.
Cintanya dari hati dan jiwa yang manunggal, yang memberi ketenangan
kepada Habibie untuk terus menjaga idealismenya membangun negeri
pertiwi. Cintanya tetap hidup walau Ainun dan Habibie terpisah dua dunia
yang berbeda.
Kisah mulai mengharukan
ketika Bu Ainun menderita penyakit jantung, yang mengharuskannya
menjalani operasi klep jantung. Jika dahulu Bu Ainun yang harus
senantiasa mendampingi Pak Habibie dengan intensitas pekerjaannya yang
tinggi, maka sekarang Pak Habibie yang terus berupaya menemani sang istri
menjalani berbagai proses penyembuhan yang membutuhkan waktu hampir 10
tahun. Terasa sekali bahwa fase kehidupan inilah dan setelahnya yang
banyak memeras psikologi Pak Habibie. Namun beruntunglah Pak Habibie memiliki agama dan Tuhan yang selalu tertanam dalam jiwanya,
sehingga tidak membuatnya kehilangan kendali diri saat sang istri pergi
selamanya.
Mungkin tidak banyak yang diceritakan di sini, bagaimana pasang-surut dalam
kehidupan rumah tangga mereka. Memang, di awal diceritakan bagaimana
waktu mereka baru menikah, tapi setelah itu, selebihnya lebih banyak
bercerita tentang kiprah bapak BJ Habibie hingga akhirnya beliau menjadi
Menristek, kemudian Wapres sampai akhirnya jadi Presiden. Terasa begitu
‘pribadi’ karena Pak Habibie juga bercerita apa yang beliau rasakan.
Bahkan ketegasan beliau ketika berhadapan dengan Presiden Soeharto
sekali pun.
Di beberapa bab terakhir, baru kembali diceritakan
bagaimana ketika Ibu Ainun mulai sakit dan harus dirawat di Jerman
karena kondisi cuaca khatulistiwa tidak cocok untuk kesehatan beliau.
Dan, BJ Habibie terus mendampingi ibu Ainun hingga tempat peristirahatan
terakhir - sebagaiman ibu Ainun mendampingi BJ Habibie dalam tugasnya.
Bagian-bagian
akhir memang bagian yang paling menyentuh, di mana justru rasa cinta di
antara mereka lebih terlihat dan begitu mendalam. Alur penuturan yang
lamban (dan mungkin kalo dipikir-pikir, tidak ada hubungannya sama ‘kisah
cinta’ mereka berdua), tapi, tetap saja, buku ini memberi inspirasi.
* nah teman, Buku ini dapat
menjadi refleksi atau pelajaran serta inspirasi bagi kita semua,
terutama bagi yang ingin belajar bagaimana menjadi suami dan istri yang
baik. Buku ini juga mengajarkan saya, bahwa kita boleh mencintai
seseorang namun janganlah melebihi cintamu kepada Allah. Karena semua
yang kita miliki sekarang hanya bersifat sementara, semuanya akan
kembali kepada Allah dan seberapapun beratnya, kita harus ikhlas dan
tabah untuk melaluinya. Baca deh buku nya teman, :)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar